RSS

Rindu yang Menggebu




Kangen. Rindu. Suatu kondisi kala kita tak bersama dengan yang dicinta. Jarak, ruang, dan waktu yang terbentang memberikan nuansa lain pada hati, suatu rongga yang mesti diisi. Satu-satunya yang mampu mengisi hanyalah yang dirindui. Sosok yang dikangeni.

Bagi sang kekasih, rindu adalah siksaan yang indah. Mengangankan si dia setiap saat. Menguraikan benang waktu dalam hitungan sepersekian detik yang seolah terasa bertahun-tahun. Menghitung elastisitas masa untuk sekadar bertemu dengannya. Menapaki hari dengan secercah asa untuk menyulam rindu dengannya. Ya… hanya dengannya. Pelukan mesra dan hangat kala berjumpa setelah sekian lama berpisah seakan enggan untuk dilepas. Air mata haru kerinduan menetes lembut di pipi. Mengalir deras dari sudut mata. Merangkul sang tercinta kembali ke dalam pelukan.

Bagi pengembara, rindu adalah keinginan untuk pulang. Kampung halaman yang memahat jiwanya tak mungkin dilupa. Melepas canda ria dengan sanak saudara, handai taulan, dan karib kerabat. Semua terasa begitu indah.

Bagi kapal yang berlayar, rindu adalah hasrat untuk berlabuh. Tak peduli pantai indah menawan hati. Cukup daratan kering tempat untuk berbaring. Kala sauh telah lelah dipermainkan angin dan ombak, tiang pun telah goyah menyangga layar agar tetap terkembang, dan kabin pun telah basah oleh sapuan samudera, berlabuh adalah kerinduan yang penuh.

Bagi pejuang, rindu adalah hasrat membuncah untuk berkorban. Menyerahkan seluruh jiwa, raga, bahkan nyawa tanpa imbalan. Memberikan seluruh yang terbaik untuk perjuangan.

Kini jiwa ini sedang merindu. Rindu untuk pulang ke satu rumah nan teduh sederhana – tempat berbaring dari rasa lelah – tapi menjanjikan kenyamanan yang pasti dan sejati. Lengkap dengan penghuninya yang menyejukkan hati, makanan yang menggugah selera, dan suasana damai yang menentramkan jiwa. Tatkala kembara jiwa menyusuri gersangnya jalan dalam menggapai sebuah cita-cita dan impian, kangen untuk pulang ke rumah itu menjadi suatu keniscayaan. Ketika debu-debu duniawi mengotori hati, mengaratkan nurani, menjadikannya caci maki, rasa rindu pun kian menggelora.

Tapi apalah daya. Tugas suci belum tertunaikan. Belum waktunya pulang. Cita-cita masih di awan. Rumah belum tegak terpancang. Meski harus tertunda sekian demi sekian; meski rindu ini semakin meradang tak tertahankan, dengan keyakinan mengakar rumah itu akan tetap ada.

Lantunan merdu menyapa. Ibarat aliran mata air dalam kebeningan jiwa, menyelusup lembut menyapa sukma, menjernihkan hati dan akal. Kangen itu terasa makin mendalam. Apalagi jika malam tiba, saat langit dan bumi tertunduk pasrah dalam kebisuan, seluruh rasa menyatu dalam asa dan doa. Semuanya tumpah ruah tanpa sisa. Tangis pun tak tertahankan lagi. Pikiran melayang mengingat rumah elok nan indah yang tegak 1.400 tahun lamanya sejak junjungan tercinta mulai membangunnya, kemudian memimpin dan melindungi umat manusia di dalamnya. Sampai akhirnya menggiring umat menuju kebahagiaan hakiki.

Air mata menetes kembali saat tergambar jelas dalam benak penderitaan kaum papa, anak-anak yang terlantar, kaum wanita yang teraniaya, para lelaki yang kehilangan harga diri, serta berbagai musibah yang bertubi-tubi datang silih berganti menimpa manusia di dunia. Itu terjadi karena tiada rumah yang melindungi. Tiada pemimpin yang mengayomi. Seketika dada pun terasa sesak. Untaian mohon terucap dalam doa:

Ya Allah, bawalah kami ke zaman itu lagi:
zaman ketika semua niat diawali atas nama-Mu,
zaman ketika hati hanya terpaut kepada-Mu,
zaman ketika segala tindakan berpijak di atas aturan-Mu,
zaman ketika nafsu hanya diterangi cahaya-Mu,
zaman ketika akal hanya dituntun petunjuk-Mu.

Ya Rahman, bawalah kami ke zaman itu lagi:
zaman ketika hati kaum Muslimin saling terpaut,
zaman ketika nasihat adalah kesenangan, bukan su’udzan atau menjatuhkan,
zaman ketika tengah malam para ikhwan dibangunkan untuk pergi berjihad,
zaman ketika para akhwat berkumpul untuk mendoakan kemenangan para pejuang Islam,
zaman ketika harta benda diserahkan secara sukarela untuk mendanai perjuangan menyebarkan ajaran-Mu,
zaman ketika rumah-rumah banyak diisi oleh kajian dan lantunan Alquran yang meningkatkan iman penghuninya.

Ya Rabb, bawalah kami ke zaman itu lagi:
zaman ketika dakwah adalah prioritas,
zaman ketika seorang ikhwan berjalan kaki semalaman sehabis tabligh dari kampung terpencil,
zaman ketika di malam gerimis para muballigh pergi ke puncak bukit untuk mengisi daurah dan halaqah dengan penuh keikhlasan meski hanya memiliki ongkos pas-pasan dan peta tak jelas,
zaman ketika binaan menangis karena tak bisa halaqah,
zaman ketika seorang ikhwan berangkat halaqah dengan ongkos jatah belanja keluarganya,
zaman ketika ada seorang Muslim sakit, saudara-saudaranya bahu membahu mencari dana sekuat tenaga,
zaman ketika halaqah adalah kerinduan dan kebutuhan, bukan beban apalagi paksaan,

Ya Rahim, bawalah kami ke zaman itu lagi:
zaman ketika para wanita menjaga kehormatannya,
zaman ketika lelaki berjuang menjaga keqawwamannya,
zaman ketika anak-anak penuh kemurnian dan keceriaan,
zaman ketika aturan-aturan-Mu dilaksanakan dengan benar.

Ya Allah, kembalikan zaman itu.
Tolonglah kami, kaum Muslimin yang teraniaya.
Ampunilah kami, kaum Muslimin yang sangat jahil.
 
Ya, aku memang sedang merindu. Sebuah kerinduan yang terendap selama 86 tahun lamanya. Tak ada yang bisa memadamkan bara api rindu itu. Rindu untuk hidup di bawah naungan syariah dan khilafah.

Ya Allah, jangan Engkau cabut kenikmatan berdakwah dari hati-hati kami.
Jangan Engkau cabut kenikmatan ini menjadi satu mata rantai penghubung tegaknya Daulah Khilafah ala Minhajin Nubuwah… Amin

Inspired by ria&ummucantikku

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright 2009 SAHABAT HATI. All rights reserved.
Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template.
Bloggerized by Miss Dothy