RSS

Kisah KLISE di Hari Sabtu



Pukul 10.18. Aku masih menunggu di dalam kelas. Sesosok tubuh muncul tergesa-gesa di ambang pintu.

“Aduh, maaf saya telat, Mbak,” ucapnya sambil memperlihatkan wajah menyesal.
“Kemana dulu emang?” tanyaku dengan raut muka menyelidik ala detektif tapi tetap menyunggingkan senyum manis (haha),
“Tadi ke sekolah dulu, Mbak. Ikut kumpul bareng tim jurnalistik.”
“Oh….” komentarku pendek tanda menerima alasannya.

Menit-menit berikutnya KBM berjalan. Siswaku asyik berkutat dengan soal-soal suplemen. Sementara, pikiranku berkelana tanpa bisa dicegah. Aku sibuk mengenang. Eh, apa tadi katanya? Jurnalistik? Ya ya demi mendengar istilah itu pikiranku langsung tertuju pada satu hal.

Dulu, aku juga pernah bergelut dengan dunia jurnalistik meski cuma satu semester. Sewaktu kuliah semester VII, aku pernah ikut kuliah jurnalistik. Mata kuliah yang menyenangkan walau sedikit melelahkan. Menyenangkan karena dosennya T.O.P. B.G.T. Menyenangkan karena aku bisa belajar menulis. Menyenangkan karena materinya menarik. Sedikit melelahkan karena setiap minggu pasti ada tugas menulis artikel. Beberapa tulisan yang dibuat harus berdasarkan pengamatan nyata dari lapangan. Tapi karena itulah aku belajar mengamati sekitar. Juga sedikit mempelajari dunia kewartawanan yang penuh dengan tantangan, tantangan, dan tantangan (hahay :D).

Nah, berkaitan dengan perkuliahan jurnalistik ini, aku punya cerita yang agak memalukan. Aku pernah menjadi korban tertawaan seisi kelas. Jadi begini ceritanya Sodara-sodara.

Sabtu beberapa tahun silam, sekitar pukul 12.30 aku dan teman-teman berkumpul di salah satu ruangan untuk mengikuti perkuliahan jurnalistik. Kelas kami cukup besar. Jumlah mahasiswanya amat banyak karena gabungan dari dua kelas. Pak dosen masuk ke kelas dengan langkah gagah. Penampilannya khas sastrawan (silakan bayangkan sendiri :D). Beliau segera membuka perkuliahan dengan gayanya yang santai, tapi cukup membuat tawa kami pecah menyemarakkan ruangan. Ah, bapak yang satu ini memang unik! (hehe.. pis Pak!)

Tibalah saat mendebarkan itu (sebenarnya hanya hatiku yang terasa berdebar-debar karena kulihat teman-teman duduk tenang seperti biasa. Entahlah, seperti ada firasat buruk). Beliau mengambil tiga lembar artikel yang telah diperiksanya. Oya, minggu kemarin kami ditugasi menulis keadaan tempat umum pada saat pagi hari. Aha, betul saja, namaku langsung disebut (“Oh, kena deh gue,” bisik hati kecilku :D).

“Tulisanmu bagus… cuma awalnya saja busuk,” kata beliau mengomentari artikelku.
“Bagus… hanya kalimat awalnya saja yang klise,” lanjutnya sambil menyebutkan kalimat yang kutulis, kemudian memberitahukan perbaikannya.
“Hahahahaha…” teman-temanku tertawa berjamaah. Ruangan dipenuhi gemuruh tawa (alamak, tolong hentikan! Huhu… malu aku malu pada semut merah, LOL :D)

Tak urung aku juga ikut tertawa meski sebenarnya perasaanku kacau balau. Mungkin wajahku juga sudah merah kayak tomat ranum. Hmm.. bayangkan saja, kawan (bayangkan! :D). Tadinya aku merasa senang bagai terbang melayang ke awan, eh tiba-tiba dijatuhkan dan dihempaskan ke bumi tanpa ampun (oh, sakitnya sungguh tak terkira, haha lebay :D). Ketika kulihat artikel itu, ada tiga bintang di atasnya (3 bintang berarti BAGUS, 2 bintang berarti CUKUP BAGUS, dan 1 bintang berarti KURANG BAGUS. 3 bintang termasuk nilai tertinggi karena tak ada bintang 4 apalagi 5).

Aku berusaha menenangkan hatiku yang masih bergejolak, “Kamu beruntung, Ai. Jumlah temanmu yang ada di kelas ini sekitar enam puluh orang lebih, tapi tulisanmu terpilih. Bersyukurlah karena dengan begitu kamu tahu kesalahanmu. Kamu harus belajar dari kesalahan hari ini. Ke depannya kamu mesti lebih baik lagi. Biar saja! Tak perlu malulah, namanya juga masih belajar. Ayo, angkat kepalamu!” (hehe)

Sementara aku berdialog dalam hati, kudengar beliau memanggil nama kedua temanku sambil mengangkat artikel mereka tinggi-tinggi.

“Nah, ini juga bagus… cuma akhirnya busuk. Apaan ini, pake diselipkan puisi segala. Emangnya ini curhat di diary,” komentarnya sambil tertawa (ssstt.. itu komentar beliau terhadap artikel Gigie :D).
“Hahahaha….” tawa temanku kembali membahana.
“Ini juga bagus… tapi apaan, pake bingkai segala. Memang ini piagam?” komentar beliau dengan gayanya yang ngocol terhadap artikel Ayu (Yu, pasti kupingmu panas karena aku menyebut-nyebut namamu :D).
“Hahahaha…” teman-teman tertawa lagi.

Akhirnya, selesai juga adegan memalukan itu. Kelas mulai tenang lagi. Sepertinya teman-teman amat bergembira. Tadi kami benar-benar larut dalam tawa. Setelah itu, beliau pun menjelaskan materi baru dan tentu saja memberikan tugas baru untuk minggu depan.

Bah, ternyata cuma tiga orang doang yang kena! Eits, bener kan yang dipilih oleh beliau artikel yang bagus? Jika ada kesalahan, anggap saja itu wajar. Bukankah tak ada karya yang sempurna?” ujarku menghibur diri yang masih diliputi sejuta rasa malu (haha).

Begitulah ceritaku, kawan. Oya, biar pikiranmu tak penasaran, nih kutuliskan kutipan artikelku yang menjadi bahan tertawaan itu. Kalimat bercetak tebal inilah yang dianggap klise (padahal menurutku sih cukup puitis dan romantis :D).

Hari ini, di kala surya di ufuk timur mulai menggeliat membelai hangat pada embun-embun yang menempel di dedaunan, aku telah berada di tengah keramaian pasar. Sambil berjalan pelan, aku mengamati keadaan sekitar. Kulirik jam di pergelangan tangan, ternyata jarumnya menunjukkan angka 06.00. itu berarti, cukup lama aku berada di tempat ini sejak matahari terbit. Suasana alam yang tadinya gelap berubah terang. Lampu-lampu di depan toko dan kios-kios dipadamkan.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright 2009 SAHABAT HATI. All rights reserved.
Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template.
Bloggerized by Miss Dothy