RSS

Demi Mencari Sesuap Nasi






Pagi kembali datang. Kehidupan di desa telah dimulai. Jarum jam menunjukkan pukul 06.00. Seorang pria berkulit sawo matang menghidupkan mesin motornya. Badannya tinggi dan kurus. Pria itu sedang bersiap-siap untuk menjemput rezeki di pangkalan ojeg. Di tempat itu ia biasa menawarkan jasa kepada orang-orang yang lewat. Seharian penuh ia bolak-balik mengantarkan penumpang. Rasa capek dan letih tak dihiraukannya. Ia berpacu dengan waktu yang terus bergerak demi menafkahi keluarganya. Baru setelah matahari menghilang ditelan kegelapan, ia kembali ke rumah dengan sejumlah rupiah di sakunya.

Itulah Hasan. Pemuda asal Bogor kelahiran 1983. Demi meraup rupiah, laki-laki yang telah berumah tangga selama enam bulan ini harus rela kepanasan di jalan. Seorang suami yang hobi memancing ini menjalani hari-harinya sebagai tukang ojeg. “Nyari kerja susah, Teh. Udah nyari ke sana sini nggak ada yang mau nerima. Saya kan cuma punya ijazah SMP. Keterampilan pun nggak punya. Untung dulu dapat warisan dari bapak saya, jadi uangnya bisa dipake buat DP kredit motor. Ya udah, terpaksa saya ngojek,” ungkapnya ketika ditanya alasan memilih pekerjaan itu.

Apa yang dituturkan Hasan benar. Mencari kerja di zaman sekarang tidak mudah. Hampir semua perusahaan meminta ijazah minimal SMA sederajat atau D3. Ijazah SD dan SMP sudah tak berlaku. Malahan lulusan sarjana pun banyak yang belum mendapat pekerjaan. Makanya, tak heran kalau jumlah pengangguran banyak sekali. Makin hari makin bertambah.

Di negeri ini yang punya nasib seperti hasan sangat banyak. Di antara mereka ada yang menjadi sopir angkot, sopir bus, tukang becak, tukang parkir, kondektur, tukang sayur keliling, kuli bangunan, atau kuli panggul. Ada juga yang menjadi pedagang kaki lima, pedagang asongan, penjual koran eceran, atau pengamen. Bahkan, ada yang menjadi calo dan pemulung. “Yang penting punya pekerjaan. Habis mau bagaimana lagi? Diam saja berarti membuang waktu secara percuma. Padahal, perut harus tetap diisi,” begitu pikir mereka.

Prihatin bukan menyaksikan nasib orang-orang seperti Hasan? Apalagi beban hidup di zaman sekarang makin menumpuk. Cukupkah penghasilan yang didapat untuk membiayai keperluan hidup? Mungkin pertanyaan itu muncul dalam benak kita. ”Lumayan cukup untuk biaya kebutuhan sehari-hari saya dan istri. Juga nambah buat ngebantu uang jajan adik saya. Saya punya adik yang masih sekolah di SD,” jawab laki-laki yang ketika kecil ingin menjadi ABRI itu. Ia menambahkan, “Tapi terkadang nggak cukup. Tahu sendiri, harga-harga sembako makin mahal sekarang. Apalagi kalau penumpang sepi. Kadang-kadang uang yang didapat habis buat beli bensin dan nabung cicilan motor. Saya cuma kebagian ceban doang. Terpaksa deh kami harus ngirit.”

Menurut Hasan, berapa pun rezeki yang diperoleh, tetap harus disyukuri sebagai rezeki dari Allah. “Yang penting mah kita berusaha dengan maksimal, hasilnya kan Allah yang menentukan. Saya sih pasrah aja mau dapet berapa juga,” ujarnya dengan logat Sunda yang kental. Sejenak laki-laki itu menghela nafas, kemudian ia melanjutkan, “Lagian udah syukur punya pekerjaan juga. Saya sih udah nggak malu-malu lagi kerja kayak gini. Yang penting mah halal”. Hasan benar. Memang sebagai manusia kita hanya bisa berikhtiar, sedangkan yang berhak memutuskan hasilnya adalah Tuhan.

Sejak kecil Hasan telah dididik dengan ajaran Islam oleh orang tuanya. Dirinya mengaku tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Meskipun sedang ngojeg, ia selalu menyempatkan shalat. Ia pun selalu berdoa agar diberikan rezeki yang melimpah oleh-Nya. Ia berharap suatu saat kehidupannya bisa lebih baik. Setelah cicilan motornya lunas, ia akan mewujudkan keinginan istrinya untuk membuka warung kecil. Dengan begitu penghasilannya akan bertambah dan bisa ditabung untuk keperluan masa depan. Jika kelak punya anak, ia ingin anaknya bisa bersekolah tinggi dan menjadi orang hebat. Oleh karena itu, ia akan bekerja lebih giat. Kita patut memuji semangat hidup Hasan. Ia sangat optimis menjalani hidupnya.

Menjadi tukang ojeg bukanlah cita-cita Hasan. Siapa pun tidak mau bercita-cita seperti itu bukan? Kalau boleh memilih, tidak ada orang yang ingin memilih pekerjaan itu. Hasan sebenarnya sama dengan kita. Ia pun ingin merasakan duduk di bangku kuliah dan menggapai cita-cita yang diimpikan. Ia juga ingin bekerja di tempat yang layak. Namun, “ingin hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai”. Semua itu hanyalah impian belaka yang sulit terwujud.

Apakah pekerjaan seperti itu adalah pekerjaan hina? Betulkah? Tidak, kita tidak boleh berpandangan begitu. Selama pekerjaan itu halal, maka pekerjaan tersebut tidaklah hina. Pekerjaan yang hina adalah pekerjaan yang menghalalkan segala cara, seperti mencuri. Demikian juga praktik korupsi yang dilakukan beberapa pejabat negeri ini. Meskipun pendidikan dan jabatan mereka tinggi, akhlak mereka amat rendah karena mencuri kekayaan negara milik rakyat. Pekerjaan mereka jelas hina dan haram.

Apa pekerjaanmu sekarang, kawan? Pengacara? Hakim? Jaksa? Dokter? Perawat? Bidan? Pengusaha? Arsitek? Konsultan? Polisi? ABRI? PNS? Guru? Dosen? Karyawan? Penulis? Trainer? Waw, hebat sekali kawan! Beruntunglah jika memiliki pekerjaan bagus dan karier cemerlang. Ya, setidaknya kita lebih beruntung karena bekerja di kantor ber-AC dengan fasilitas lengkap. Tak usah berpanas-panas di bawah sengatan matahari atau tertimpa guyuran hujan.

Maka, syukuri pekerjaan yang kita miliki. Adakalanya rasa jenuh dan bosan memang menghampiri. Gimana pun, pasti ada suka duka dalam pekerjaan. Nikmati saja pekerjaan yang kita jalani. Alangkah lebih baik memaksimalkan potensi kita untuk menghasilkan karya terbaik daripada hanya mengeluh, meratapi nasib, dan menyalahkan keadaan. Yuk, berusaha! ^_^

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright 2009 SAHABAT HATI. All rights reserved.
Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template.
Bloggerized by Miss Dothy