RSS

Wajah Pasar Lawang Seketeng Sore dan Malam Hari



Dari Terminal Cihideung aku naik angkutan kota 04A jurusan Cihideung-Ramayana. Kala itu keadaan cuaca sangat cerah. Sinar mentari begitu menyengat kulit. Udara pun panas sekali. Aku merasa kepanasan berada dalam angkutan itu. Apalagi aku duduk di pojok bangku sebelah kiri. Keringatku bercucuran. Sambil mengelap keringat dengan tisu aku menghitung jumlah penumpang. Ternyata hanya ada enam orang. “Wah, masih lama dong,” kataku dalam hati. Akan tetapi, tak lama kemudian sopir angkutan itu segera menjalankan mobilnya.
Di bawah terik matahari mobil itu melaju dengan kencang di atas jalan aspal yang licin. Semilir angin menerobos masuk melalui kaca jendela yang terbuka. Hembusannya memberikan aroma kesejukan. Suasana dalam angkutan sangat hening. Masing-masing orang larut dalam pikirannya sendiri. Aku menikmati perjalanan itu. Sepanjang jalan mataku tak henti-hentinya menatap pemandangan alam yang menakjubkan. Keadaan daerah sana masih asri. Sawah dan kebun mudah ditemui di sepanjang jalan. Pohon-pohon rindang tumbuh di sisi kiri dan kanan jalan. Hal itu menambah suasana menjadi teduh.
Dua puluh menit kemudian, angkutan itu memasuki wilayah Kota Bogor. Aku baru menyadari bahwa sejak tadi angkutan itu tidak berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpang. Jumlah penumpang masih tetap sama seperti ketika angkutan itu berangkat dari terminal. Mungkin karena itulah angkutan tersebut bisa secepat itu berada di wilayah Kota Bogor.
Aku masih mengamati keadaan sekeliling. Memasuki Wilayah Kota Bogor cuaca mulai mendung. Arus lalu lintas di jalan raya tersebut berjalan lancar. Namun, ketika angkutan itu memasuki Gang Aut, lalu lintas jalan tersendat. Penumpang mulai turun satu persatu. Akhirnya, yang tersisa hanya dua orang, yaitu aku dan seorang bapak yang berusia kira-kira 50 tahun. Tidak lama kemudian, bapak itu pun turun tepat di dekat Pasar Lawang Seketeng Bogor. Walaupun keadaan jalan macet, aku tidak memutuskan segera turun dari angkutan itu. Hal itu karena kupikir jalan untuk menuju ke tempat penyetopan angkutan berikutnya masih jauh. Jadi, aku tetap duduk dalam angkutan itu.
Angkutan kota itu akan melewati Pasar Lawang Seketeng, tepatnya melalui jalan berbentuk horizontal. Di sekitar jalan berbentuk horizontal aku menyaksikan banyak mobil angkutan berderet panjang. Mobil-mobil itu hanya bergerak secara perlahan. Suasana sangat ramai dan bising. Suara klakson berbunyi nyaring. Pedagang asongan menawarkan dagangannya kepada penumpang yang berada dalam angkutan. Sebagian toko yang ada di sisi kiri dan kanan jalan ada yang sudah tutup dan sebagian lagi ada yang masih buka. Para pedagang kaki lima menggelar dagangannya di depan toko-toko itu.
Aku masih asyik memperhatikan suasana di sana sampai tiba-tiba sopir angkutan itu mengejutkanku.
“Mau kemana, Neng?” tanya sopir.
“Ke terminal bus,” jawabku spontan.
“Mendingan turun aja, jalan ke arah sana, soalnya pasti lama banget. Malahan kadang-kadang sampai satu jam,“ ujar sopir itu sambil mengangkat jari telunjuknya untuk menunjukan arah jalan.
Aku pun turun dari angkutan. Kuserahkan beberapa lembar uang ribuan kepada sopi itu.
“Makasih, Mang,” ucapku sambil tersenyum.
Ketika turun dari angkutan itu cuaca bertambah mendung. Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun. Kuayunkan langkah kaki secepat mungkin. Aku berjalan melewati Pasar Lawang Seketeng. Kususuri setiap sudut pasar itu. Di sana banyak para pedagang kaki lima. Aneka sayuran, buah, bumbu dapur, perabot rumah tangga, dan pakaian jadi dijual di pasar itu. Keadaan pasar tradisional sore itu masih ramai. Para pembeli banyak yang berkunjung ke sana. Ketika sampai di titik pertemuan antara jalan berentuk vertikal dan horizontal, aku memutar gerak tubuh ke arak kanan.
Pada jalan yang berbentuk vertikal itu kusaksikan banyak pedagang mulai mengemas barang dagangannya. Namun, sebagian ada juga yang masih sibuk melayani pembeli. Di tengah-tengah jalan itu ada mobil pengangkut barang yang berhenti. Kuli panggul sibuk menurunkan barang dari mobil. Kemudian, memasukannya ke dalam toko. Karena ada mobil tersebut, perjalananku sedikit terhambat. Terpaksa kuputar badan dan mencari jalan yang lebih lebar. Ketika hampir mau sampai ke ujung jalan, hujan turun. Para pedagang pun sibuk membereskan barang dagangannya.
Aku berlari agak kencang. Lima menit kemudian, aku telah berada di jalan raya. Aku pun segera menyetop mobil angkutan kota yang menuju ke Terminal Bus Baranangsiang.
Tepat menjelang bedug Magrib, pengajian telah selesai. Sebelum pulang, terlebih dahulu aku melaksanakan salat Magrib. Karena hujan masih lebat, aku memutuskan untuk tidak langsung pulang. Aku dan teman-teman asyik berbincang-bincang di teras masjid sambil menunggu hujan reda. Tak terasa waktu mulai merangkak memasuki malam. Ketika kulihat jam tangan, waktu menunjukan pukul 20.00. Setelah hujan agak reda, aku memaksakan untuk pulang. Dengan menumpangi angkutan kota 06 jurusan Ciheuleut-Ramayana aku akhirnya berada di Bogor, tepatnya berada di samping Bogor Plaza. Kemudian, berjalan kaki melewati Pasar Lawang Seketeng. Aku terpaksa mengambil jalan itu karena mobil angkutan yang harus kutumpangi ada di jalan dekat pasar itu.
Suasana Pasar Lawang Seketeng pada malam hari sangat sepi. Semua toko yang berada di sepanjang jalan sudah ditutup. Begitu pun dengan para pedagang kaki lima. Keadaan jalan di sana sangat lengang dan agak gelap. Hanya ada sedikit cahaya lampu yang memancarkan sinarnya ke pasar itu.. berbeda dengan jalan yang berada di depan Bogor Plaza, keadaannya terang benderang. Jalan yang kulalui becek dan kotor. Bau sampah busuk tercium. Baunya menyengat hidung dan menimbulkan rasa mual. Sisa air hujan masih tergenang. Aku terpaksa mengangkat tepi baju bagian bawah untuk menghindari cipratan air.
Aku berjalan sambil mengamati keadaan sekeliling. Tidak banyak orang yang melewati pasar itu. Hanya ada beberapa orang yag lewat. Di depanku ada dua orang bapak-bapak. Sementara, agak jauh ke belakang terlihat dua orang ibu-ibu berjalan pelan sambil menjinjing plastik belanjaan. Tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku.
Sorangan wae, Neng,” ujar seseorang di balik lapak.
Aku berhenti sejenak. Kemudian, menengok ke kanan dan ke kiri untuk mencari sumber suara. Sepertinya itu adalah suara seorang laki-laki. Detik berikutnya, aku kembali berjalan. Ketakutan menyergapku. Kemudian, aku mempercepat langkah kaki. Tepat di ujung jalan ada angkutan kota 04A yang lewat. Aku pun segera naik ke mobil itu.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright 2009 SAHABAT HATI. All rights reserved.
Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template.
Bloggerized by Miss Dothy