RSS

Tips Menulis: Latihan, Latihan, dan Latihan



Menurut Anda, apakah menulis itu sulit? Jika Anda berpandangan demikian, segera buang jauh-jauh pikiran buruk tersebut. Menulis bukan perkara rumit, tapi kegiatan yang mudah dilaksanakan. Sssttt... saya mau bagi-bagi tips nih. Asal kawan-kawan tahu, tulisan yang dibuat oleh dosen saya berikut sedikit banyak telah mendorong dan memotivasi saya untuk menulis. Silakan dibaca dengan saksama! :)


MENULIS, MAKA MENULISLAH!
Maman S. Mahayana
       
Bagaimanakah caranya menjadi seorang pengarang, penulis, atau lebih khusus lagi menjadi cerpenis? Dapatkah seseorang menjadi penulis, cerpenis, atau sastrawan besar? Syarat apa saja yang harus dipenuhi agar dapat mencapai cita-cita tersebut? Siapa pun sesungguhnya  dapat menjadi pengarang, penulis, cerpenis, atau sastrawan besar. Cara mencapai tujuan itu, juga bergantung pada kemauan dan kesungguhan kita sendiri. Tidak perlu modal atau biaya besar. Tidak perlu juga berpikir dan menghubungkannya dengan bakat atau talenta. Seseorang yang menjadi penulis atau pengarang sama sekali tak ditentukan oleh bakat, melainkan oleh proses latihan yang terus-menerus, berkelanjutan, dan menulis sepanjang hidup.

Setiap orang, pada dasarnya, dapat dan mampu untuk menulis atau meminjam pernyataan Arswendo  Atmowiloto, “Menulis itu gampang”. Kenyataan memang demikian. Masalah tinggal bergantung kepada kemauan, kesungguhan, dan ketekunan. Pertanyaan pertama sebelum memulai melaksanakan keinginan hendak menjadi penulis adalah: Apakah kita benar-benar ingin menjadi penulis atau tidak? Jika tidak, tak usahlah kita mempunyai keinginan menulis. Campakkan keinginan itu atau bekerja di bidang yang tidak ada kaitannya dengan tulis-menulis. Namun, jika kita sungguh ingin menulis dan bertekad menjadi penulis yang baik, maka menulislah! Tidak dapat lain, belajar menulis harus dengan menulis, dan bukan menghapal resep-resep atau teori-teori tentang penulisan. Begitulah jika kita sudah mulai melakukan tindak menulis, niscaya kita akan menyadari bahwa sesungguhnya menulis itu tidaklah sesulit yang diduga, betapapun tidak pula segampang yang diangankan.

Kegiatan menulis terasa lebih gampang lagi apabila kita telah memiliki pengetahuan dan wawasan yang memadai mengenai satu atau beberapa hal. Bagi mereka yang menempatkan kegiatan membaca sebagai santapan rohani, niscaya kemampuannya menulis tinggal menungu waktu saja. Persoalannya tinggal bergantung pada kemaunnya menulis. Jika tidak, sampai kapan pun, meskipun pengetahuan dan wawasan luas, ia tetaplah tidak akan mempunyai keterampilan menulis.

Lho, bagaimana dengan bakat? Bukankah menjadi penulis (pengarang, sastrawan, novelis, cerpenis, penulis esai) hanya mungkin dapat terwujud jika kita mempunyai bakat dan talenta? Mungkinkah orang yang tidak punya bakat atau talenta sebagai penulis dapat menjadi cerpenis, novelis, atau apa pun  yang berkaitan dengan kegiatan tulis-menulis? Itulah pandangan yang sesat! Menulis, seperti disinggung tadi, tidak ada hubunganya dengan bakat. Menulis adalah kegiatan keterampilan.

Dalam hal itu, anggapan masyarakat bahwa seseorang hanya bisa menjadi pengarang jika ia mempunyai bakat atau talenta besar sebagai pengarang, sama sekali tidaklah benar. Pandangan itu harus ditolak karena selain salah juga menyesatkan dan berbahaya. Salah, karena memang mengarang-menulis adalah kegiatan keterampilan. Sebagai kegiatan keterampilan berhasil tidaknya seorang menjadi pengarang-penulis yang baik, sepenuhnya sangat bergantung pada proses latihan mengarang yang terus-menerus dan berkelanjutan.

Proses latihan itu akan sangat membantu seseorang dalam melakukan pemilihan dan pemilahan kata atau diksi; melatih kecermatan dan ketepatan dalam menempatkan kata tertentu dalam sebuah kalimat; menciptakan kemahiran dalam permainan metafora dan kecantikan berbahasa; dan memperlancar penyelesaian sebuah karangan yang ketika dibaca hasilnya itu tampak mengalir, terasa begitu lancar, enak dibaca, dan gurih.

Pandangan bahwa kemampuan seseorang menjadi penulis sangat ditentukan oleh bakat, juga sangat berbahaya. Apalagi jika kemudian asumsi yang keliru itu menyebar dan dianggap kebenaran. Jadi, selain berbahaya karena menyesatkan dan dapat berdampak buruk, pandangan itu dapat menciptakan stigma bahwa dunia tulis-menulis hanyalah milik orang-orang tertentu yang berbakat. Bayangkan, jika seorang guru menyampaikan pandangan yang keliru ini kepada murid-muridnya, niacaya sekian banyak murid yang bercita-cita atau ingin menjadi penulis atau pengarang akan segera mengurungkan keinginan dan harapan itu hanya karena ia merasa tidak mempunyai bakat sebagai pengarang. Apalagi jika dikaitkan dengan soal keturunan. Lantaran ayah-ibu dan terus sampai kakek-buyut tidak ada yang menjadi pengarang, maka munculah anggapan pastilah tidak ada bakat yang dimiliki generasi berikutnya untuk menjadi pengarang. Dengan demikian, pandangan itu secara langsung telah membunuh cita-cita dan harapan seseorang untuk menjadi pengarang.

Pandangan itu juga secara langsung dapat menumbuhkan ketakutan seseorang ketika hendak memulai belajar menulis. Padahal, musuh utama seseorang untuk menjadi penulis adalah ketakutan itu sendiri. Ada lima ketakutan yang boleh dianggap sebagai musuh utama mereka yang berkeinginan menjadi penulis, yaitu: (1) takut tulisannya itu salah dan gagasannya keliru; (2) takut tulisan itu dikatakan sebagai tulisan yang jelek; (3) takut tulisan itu dianggap cuma menampilkan gagasan yang biasa saja dan tidak istimewa; (4) takut tulisan itu dianggap tidak penting sehingga merasa karyanya tidak ada artinya sama sekali; dan (5) takut tulisan itu sudah pernah ditulis orang. Oleh karena itu, tulisan yang akan dibuat dianggap sudah basi dan kadaluwarsa.

Jika seseorang benar-benar ingin menjadi penulis, langkah awal yang harus dilakukan adalah membunuh dan membenamkan sedalamnya ketakutan-ketakuan itu.

Keterampilan dan Semangat

Mengarang atau menulis adalah kegiatan keterampilan. Sebagai kegiatan keterampilan, mengarang dapatlah dianalogikan dengan berenang. Seseorang hanya dapat mungkin berenang, jika ia berlatih berenang di dalam beningnya air kolam, di tengah arus deras air, dalam dinginnya danau atau dalam hempasan gelombang laut. Ia harus menceburkan diri ke dalam air kolam, berkelok-kelok mengikuti aliran sungai, menyelam kedalaman danau atau menentang deras gelombang laut jika ia memang ingin mahir berenang. Tanpa itu, mustahillah ia akan dapat berenang. Jadi, belajar mengarang tidak seperti belajar berenang di dalam kelas. Siapa pun yang belajar berenang di dalam kelas, hanya akan pandai dan mungkin juga menguasai teori berenang. Akan tetapi, sampai kapan pun mustahil ia bisa berenang meskipun mungkin saja teori-teori tentang itu sudah dikuasai di luar kepala. Lalu, apa syaratnya agar seseorang dapat mengarang, dapat piawai menulis esai, artikel, resensi buku atau cerpen dan di kemudian hari menjadi penulis, pengarang atau sastrawan terkenal?

Menjadi pengarang, penulis, cerpenis atau sastrawan, sama sekali tidak ada kaitannya dengan bakat. Modalnya hanya satu: latihan yang tiada henti. Berlatih, berlatih, dan berlatih! Jika itu terus dilakukan, niscaya ia akan mahir mempermainkan kata-kata, piawai merangkaikannya dalam deretan-deretan kalimat, cerdas dalam menyuguhkan pesan yang terkandung di dalam dalam karangan yang bersangkutan, dan gesit dalam menciptakan rangkaian kalimat dalam membangun sebuah alinea. Dengan begitu, belajar mengarang itu juga sangat bergantung pada kemauan, tekad, dan kesungguhan. Tanpa itu, meskipun ia berguru pada sastrawan terkenal dan telah membayarnya dengan sangat mahal atau membaca setumpuk buku teori tentang penulisan, ia tetap akan menyimpan cita-cita itu di dalam laci meja atau di dalam buku-buku teori. Jadi, tekad, kemauan, kesungguhan, ditambah kesabaran, merupakan modal yang lebih penting dari apa pun. Semangat itu harus tumbuh dari diri sendiri. Pihak lain sekadar stimulan atau pemicu semangat belaka.

Mengingat menulis sebagai kegiatan keterampilan, maka faktor paling penting dalam dunia tulis-menulis adalah latihan. Latihan, latihan, dan terus latihan selama hidup, sepanjang tekad dan keinginan menjadi penulis tidak kita pensiunkan. Jadi, jika kita ingin menjadi penulis, maka menulislah, dan sejalan dengan itu, berlatihlah menulis sampai titik darah penghabisan! Bukankah bidang pekerjaan sebagai penulis adalah salah satu profesi yang tidak pernah pensiunan, kecuali ia sudah tidak dapat lagi berpikir? Seorang penulis yang baik, baru akan berhenti menjadi penulis dan pensiun dari profesinya ketika ia berhenti menjadi manusia dan tebujur kaku di liang lahat.

Kiat Menulis

Sebelum kita menjadikan kegiatan membaca dan menulis sebagai kebutuhan keseharian, mungkin kita memerlukan kiat tertentu. Kelak, jika kegiatan membaca dan menulis sudah menjadi santapan keseharian kita, niscaya pula kita akan menyadari, betapa menulis itu dapat pula mendatangkan kenikmatan spiritual, kebanggaan dan kepercayaan diri secara wajar dan tentu saja, menghasilkan keuntungan material.

Sebelum memulai menulis, langkah pertama yang mesti dilakukan adalah menegaskan kembali, bahwa kita sungguh ingin menulis; artikel, esai, resensi, makalah atau karya kreatif seperti novel, cerpen atau puisi. Penegasan ini penting supaya timbul motivasi dan dorongan dari dalam diri, bahwa kita sungguh-sungguh akan menulis.

Langkah kedua adalah melaksanakan keinginan itu. Jadi keinginan itu bukan sekadar angan-angan atau harapan kosong belaka. Bulatkan tekat, bahwa kita memang ingin menjadi penulis. Maka menulislah! Lalu apa yang hendak kita tulis? Ya, apa saja. Bergantung dari masalah apa yang sekiranya kita ketahui secara lebih baik dan bagaimana kita ingin mengungkapkannya melalui bahasa tulis. Dalam hal ini, sebaiknya kita menulis sesuatu yang memang benar-benar kita ketahui atau kita ketahui masalahnya. Jika itu sudah ditentukan, maka mulailah menulis. Lalu, bagaiman memulainya?

Itulah langkah ketiga, yaitu menulis apa saja yang ada di dalam benak kepala yang sesuai pula dengan keinginan kita bahwa kita memang sungguh-sungguh menulis. Janganlah kita memikirkan apakah tulisan itu baik atau tidak, berbobot atau tidak, jelek atau tidak, penting atau tidak, dan seterusnya. Pokoknya, untuk langkah pertama ini, kita hendak menulis, maka menulislah! Selepas itu, barulah kita mengevaluasi lagi urutan masalah yang hendak diungkapkan, hal apa saja yang akan diangkat, dan bagian mana yang perlu dibuang atau dikembangkan. Manfaatkan pula kamus untuk meyakinkan istilah-istilah yang mungkin kita singgung. Lewat kamus pula kita dapat melakukan pilihan kata. Jadi, dalam hal ini, bertindaklah sebagai penulis yang berada di jalan yang yang benar, yaitu bertindak sebagai penbaca pertama, editor pertama, dan kritikus pertama dari tulisan kita sendiri.

Langkah keempat adalah pengetikan atau penulisan ulang. Ini perlu dilakukan mengingat tulisan sekali jadi, cenderung mengandung kesalahan. Dalam hal ini, sebaiknya kita mengedepankan dahulu apa yang sudah kita tulis. Selepas itu, barulah dilakukan pembacaan dan pengetikan ulang. Di samping itu, cara ini pun berguna untuk menyaring gagasan-gagasan yang mungkin tercecer, jadi tulisan final sudah mengalami beberapa evaluasi, pembacaan, dan pengetikan ulang. Sesudah kita yakin betul bahwa tidak ada kesalahan, baik kesalahan ketik, ejaan, tanda baca atau kalimat, barulah kita mengirimkannya ke media yang sesuai dengan isi dan materi tulisan kita.

Nah, gampang, kan! :D

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright 2009 SAHABAT HATI. All rights reserved.
Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template.
Bloggerized by Miss Dothy