RSS

Wakil Rakyat yang Tak Merakyat


Selama perjalanan tadi aku tidak menghabiskan waktu dengan membaca seperti biasa. Hari ini cuaca cerah. Matahari bersinar hangat menerangi semesta. Langit terlihat biru bersih. Maka, kuputuskan untuk menghabiskan waktu dengan menikmati keindahan sekitar. Tak henti-hentinya mataku menengadah. Takjub dengan pesona alam raya.

Turun dari motor, aku langsung naik angkutan menuju Bogor. Kupilih tempat duduk di samping pak sopir. Tak berapa jauh dari angkot, tampak seorang bapak sedang mengorek-ngorek tempat sampah. Ia mencari-cari botol bekas minuman, kemudian dipindahkan ke karung yang digendong di punggungnya. Melihat gelagatnya, aku bisa menyimpulkan bahwa bapak itu seorang pemulung. Penampilannya jauh dari kesan bersih. Pakaiannya kumal dan kotor. Tanpa alas kaki pula. Namun, langkahnya gesit. Gerakannya cekatan tanpa terganggu oleh aroma sampah yang mengeluarkan bau tak sedap. Tampaknya ia begitu menikmati pekerjaannya.

Setelah hampir dipenuhi penumpang, angkot itu mulai melaju mulus di jalan aspal. Di tengah jalan, seorang bapak separuh baya menyetop angkot. Di sampingnya ada dua keranjang besar berisi pisang matang yang siap dijual. Ia menaikkan keranjang itu dengan susah payah. Meski badannya tak lagi kekar, ia terlihat bersemangat.

Selang beberapa lama, angkot kembali berhenti. Seorang ibu naik dengan menenteng kantong plastik besar. Bagian atas kantong plastik itu dibiarkan terbuka. Dari sana terlihat bahwa ia membawa kripik singkong pedas yang dibungkus oleh plastik ukuran seperempat kilogram. Ternyata si ibu akan memasarkan kripik hasil karyanya.

Memasuki wilayah Kota Bogor, makin banyak orang yang kutemui di pinggir jalan. Seorang laki-laki sedang berjalan sambil menenteng papan display pernak-pernik. Di seberang jalan, tampak seorang bapak mendorong gerobak bubur ayam. Tak jauh dari tempat si bapak tadi, seorang ibu sedang sibuk melayani anak-anak SD yang berkerumun di meja dagangannya.

Mobil terus melaju dengan kecepatan sedang. Ketika kualihkan pandangan ke samping kiri, ada seorang kakek sedang memikul barang dagangan. Langkahnya begitu lunglai dan kepayahan. Tak sanggup aku menatapnya. Mataku tiba-tiba memanas. Meski begitu, si kakek tetap berusaha berjalan.

Semakin mendekati pasar tradisional, semakin banyak orang-orang yang sedang berjuang mengais rupiah. Kuli panggul dan pedagang asongan sibuk berjalan hilir mudik. Pedagang kaki lima tampak berjejer di pinggir jalan dan memenuhi sudut-sudut pasar. Para pengamen mulai naik satu persatu ke setiap angkot. Lalu, menyanyikan beberapa bait lagu dengan suara pas-pasan dan alat musik ala kadarnya. Suara mereka bersahut-sahutan dengan bunyi klakson. Menambah suasana makin bising dan ramai.

Melewati lampu merah, keadaan lebih memprihatinkan. Beberapa ibu berpakaian compang-camping sambil menggendong anak mengulurkan tangannya ke mobil-mobil mewah yang sedang berhenti. Anak-anak kecil berpakaian kumal bergerombol di pinggir jalan. Satu dua dua naik ke angkot dan menyanyikan lagu. Beberapa pengamen muda bergegas mendekati pintu angkot, mengucapkan kalimat basa-basi, lantas bernyanyi dengan suara fals, lalu menagih imbalan dengan nada agak memaksa. Kemudian, ngeloyor pergi dengan umpatan kecil jika tak ada penumpang yang memberinya uang.

Itu adalah pemandangan harian yang kulihat di sepanjang jalan dari rumah menuju kantor. Bisa dikatakan itu termasuk sebagian potret kemiskinan yang melanda negeri ini. Sedih sekali rasanya, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menyaksikannya dengan pandangan nanar dan nafas sesak. Negeri kami yang memiliki SDA melimpah ternyata belum bisa menjamin kemakmuran pada warganya. Masih banyak rakyat yang hidup miskin dan kekurangan.

Belum lagi, berita-berita yang kutonton dari televisi. Di antara liputan itu sering ditayangkan beberapa warga yang terkena bencana alam. Mulai dari longsor, banjir, hingga gempa. Rumah mereka hancur. Harta bendanya musnah. Akhirnya, mereka terpaksa tinggal di barak pengungsian dengan peralatan serba terbatas.

Itu kondisi sulit yang dihadapi kebanyakan warga di negeri ini. Sementara, para petinggi negeri ini masih disibukkan dengan urusan pembangunan gedung baru DPR. Tentu saja, siapa pun tahu bahwa pembangunan gedung itu amat paradoks. Di tengah kondisi kehidupan rakyat yang serba sulit dan terhimpit, pembangunan gedung yang memakan biaya sekian triliun itu begitu keterlaluan. Mereka menghambur-hamburkan uang rakyat untuk kepentingan yang tidak begitu penting. Pembangunan gedung baru itu hanya untuk memuaskan keinginan mereka, tak ada hubungannya dengan rakyat. Bahkan, rakyat tak akan menikmati hasilnya secara langsung. Apa gedung yang sekarang menghambat kerja mereka dalam mengatur negara? Tidak bukan? Bahkan, gedung DPR sekarang masih bagus jika dibandingkan dengan gedung sekolah di daerah-daerah yang sudah bobrok dan bocor di sana sini.

Ya Allah, beginikah wajah-wajah pemimpin kami? Mereka adalah wakil rakyat. Tapi, sungguh tak berpihak pada rakyat. Jangankan menyalurkan aspirasi rakyat, menolong rakyat pun tidak mampu. Kebijakan mereka malah menyengsarakan rakyat. Refresentasi sebagai wakil rakyat yang mereka wujudkan hanyalah menjadi wakil rakyat dalam menikmati kekayaan negeri ini. Betul, merekalah orang pertama yang mewakili rakyat dalam menikmati fasilitas negara, sementara rakyat hanya sanggup mendengar dan menontonnya sambil mengelus dada.

Sepak terjang para wakil rakyat dalam memanfaatkan uang negara tak hanya sampai di situ. Bukankah begitu sering kita dengar para pejabat kita berkunjung ke luar negeri dengan alasan studi banding? Dari mana dana untuk membiaya perjalanan mereka kalau bukan dari uang rakyat? Padahal, lagi-lagi studi banding itu bukan dalam rangka memperjuangkan nasib rakyat. Pergi ke Jepang hanya untuk melihat pakaian pramuka siswa sana. Lalu, keliling Yunani untuk studi banding masalah korupsi. Bah, omong kosong semuanya! Itu hanya akal-akalan mereka saja untuk jalan-jalan gratis ke luar negeri.

Kawan, ada yang tidak beres dengan negeri kita. Haruskah kita membiarkan masalah ini berlarut-larut tanpa berbuat apa pun? Tidak kawan, kita harus berbuat sesuatu. Kita harus membenahinya. Untuk bisa mengatasi masalah ini, kita harus tahu dulu akar masalahnya. Nah, pangkal masalah dari kekacauan di negeri ini adalah kesalahan sistem, kawan. Jadi, perubahan yang harus dilakukan adalah perubahan sistemik. Dengan kata lain, menciptakan pemerintahan yang bersih tak hanya dengan memilih wakil rakyat yang dirasa jujur dan amanah, tetapi harus mengganti sistem bobrok yang diterapkan di negeri ini.

Sudah saatnya mengganti sistem kufur yang diterapkan di negeri kita dengan sistem dari Sang Pencipta Manusia. Allah pencipta manusia pasti Maha Mengetahui seluk beluk kehidupan manusia. Makanya, diturunkanlah seperangkat aturan melalui utusan-Nya. Aturan itu tiada lain untuk dijadikan petunjuk agar hidup manusia berjalan teratur sehingga mereka bisa meraih kesejahteraan dan kemakmuran dalam menjalani kehidupan di muka bumi.

Kawan, mulailah perubahan itu dari diri kita. Pelajari agama-Nya, lalu amalkan dalam kehidupan sehari. Kemudian, sebarkan pada masyarakat luas supaya mereka pun menyadari bahwa sudah saatnya kita kembali pada hukum-hukum-Nya. Niscaya kesejahteraan hidup akan kita raih. Bukankah Allah akan menurunkan berkah-Nya bagi penduduk bumi yang taat?

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright 2009 SAHABAT HATI. All rights reserved.
Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template.
Bloggerized by Miss Dothy